Gegar Budaya sebagai proses Komunikasi Antar Budaya


Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi satu sama lain, baik itu dengan sesama, adat istiadat, norma, pengetahuan ataupun budaya di sekitarnya. Pada kenyataanya seringkali kita tidak bisa menerima atau merasa kesulitan menyesuaikan diri dengan perbedaan-perbedaan yang terjadi akibat interaksi tersebut, seperti masalah perkembangan teknologi, kebiasan yang berbeda dari seorang teman yang berbeda asal daerah atau cara-cara yang menjadi kebiasaan (bahasa, tradisi atau norma) dari suatu daerah sementara kita berasal dari daerah lain.

Menurut Stewart (1974) Komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi dibawah suatu kondisi kebudayaan yang berbeda bahasa, norma-norma, adat istiadat dan kebiasaan.
Dalam menjalani proses komunikasi antar budaya pasti akan mengalami suatu keterkejutan budaya yang berbeda dengan budaya kita. Menurut Dedi Mulyana dalam buku komunikasi antar budaya mengatakan bahwa Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan sosial.

Berikut ini adalah cerita dari salah satu keterkejutan budaya atau gegar budaya yang dialami saat berada di tempat tugas yang jauh dari daerah asal.

Cerita pertama :
Dua hari setelah di lantik dan menerima SK, saya pergi ke tempat tugas sesuai dengan SK penempatan yaitu di SMP yang ada di daerah Rangkasbitung. Setelah bertanya-tanya akhirnya sampai juga di tempat yang dituju.

Setelah beberapa lama mengajar di tempat yang baru dengan lingkungan dan dialek bahasa yang sedikit berbeda dengan daerah asal saya yaitu dari Bandung. Pada prose belajar mengajar saya pernah memarahi seorang murid yang selalu nakal saat belajar di kelas walau sudah beberapa kali diperingatkan tetapi masih juga membandel. Akhirnya saya panggil murid tersebut ke ruang guru lalu saya tanya dengan menggunakan bahasa Sunda :
Heh ari maneh kunaon di kelas baong-baong teuing, itu pertanyaan yang saya lontarkan ke murid saya , tetapi saya kaget mendengar jawaban anak yang menurut saya (kebiasan di Bandung) itu adalah kata-kata melawan guru.
Jawabnya seperti ini : Pak, ari baong mah abdi moal bisa sakola atuh.
Tadinya saya mau marah karena merasa dilawan. Tapi seorang rekan guru yang kebetulan ada di sana manggil saya dan bilang, Pak, Kalao marahin anak jangan bilang baong, baong disini berbeda dengan baong di Bandung, itu katanya, lalu saya tanya memang apa artinya baong di Rangkas. Dia bilang baong di Rangkas katanya “tidak melihat”. Saya Cuma bisa bilang ohh! begitu, pantas aja anak menjawab “Pak, ari baong mah abdi moal bisa sakola atuh” artinya kalo tidak melihat dia tidak akan sekolah.

Cerita kedua :
Hari itu saya pergi ke mesjid dekat rumah kontrakan untuk sholat jumat, karena agak terlambat akhirnya saya kebagian di teras dekat bedug. Setelah sholat sunat saya bersalaman dan duduk, tetapi tidak lama kemudian saya melihat orang tua yang berkata sambil agak mebentak ke anak-anak yang kebetulan saat itu banyak anak-anak yang duduk dekat tiang bedug yang ngobrol sambil beracanda.

Ini perkataan orang tua ke anak-anak yang sedang ngobrol:
Hey dak ulang deukeut teuing tihang, “mantog” geura, itu katanya.
Saya mendengar dan sedikit agak bingung juga karena saya pikir kenapa Anak yang mau sembahyang disuruh “mantog” (dalam bahasa sunda di Bandung mantog adalah bahasa kasar yang artinya pulang atau pergi).

Besoknya saya menceritakan kejadian di mesjid mengenai anak yang di bilang mantog ke teman kerja saya yang sudah lama bekerja.
Setelah saya cerita ternyata teman saya malah tertawa,….
Saya bingung ko cerita begitu malah ditertawakan, saya desak untuk menjawabnya. Dan akhirnya selesai dia ketawa lalu menjelaskan maksud dari kata mantog. Dan akhirnya saya juga ikut tersenyum karena sikap saya tentang kata mantog, ternyata mantog di Bandung bukan berarti mantog di Rangkas, mantog di Rangkas artinya terbentur (ti dagor) jadi yang dimaksud di atas artinya “Jangan dekat kayu penyangga bedug nanti terbentur kayu”.

Itulah sebagian kecil dari cerita pengalaman yang dialami yang berhubungan dengan keterkejutan /gegar budaya, dan mungkin andapun pernah mengalami walau dalam kontek yang berbeda.

3 comments on “Gegar Budaya sebagai proses Komunikasi Antar Budaya

  1. memang culture shock hampir nyaris membuat para pendatang serasa menjadi alien di tempat baru. memang dalam hal bahasa saja sudah membuat pusing, apa lagi ditambah dengan tradisi yang benar-benar berbeda dengan tradisi yang anda anut di daerah sebelumnya bisa jadi rasa untuk segera pulang ke kampung halaman jauh lebih tinggi.

Tinggalkan komentar